MOTTO HIDUP :

Allah adalah Tuhanku, Muhammad adalah Nabi dan Rasulku, Qur’an Hadis adalah landasanku, Alam semesta adalah sumber inspirasiku, Ibadah dan amal adalah esensi kemanusiaanku, Insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang di ridhoi oleh Allah SWT adalah tujuanku, Jarak (s) adalah kecepatan (w) dikali waktu (t) adalah semangatku, Yakin usaha sampai adalah semboyanku

Senin, 16 Januari 2012

Integrasi Nilai-Nilai Islam untuk Pendidikan Fisika

Integrasi Nilai-Nilai Islam untuk Pendidikan Fisika
oleh rusydin maghani 
(alimni UIN yogyakarta dan guru fisika pada smpn 3 woha kab. bima)

Islam adalah ajaran yang Allah turunkan melalui Rasul-Nya sebagai agama yang paling sempurna bagi semesta alam (QS. 5:3). Allah telah memenangkan Islam atas ajaran-ajaran yang lain, kemenangan itu semuanya milik Islam sebagaimana telah Allah janjikan.

sebagai umat Islam, kita harus tetap optimis, bahwa janji Allah itu akan datang, membangkitkan dan memenangkan Islam walau mungkin membutuhkan waktu yang panjang. Optimisme yang dibutuhkan tentunya tidak lantas melahirkan kepastian, akan tetapi harus diiringi dengan upaya dan usaha yang dilandasi oleh iman. Untuk membangkitkan islam tentu membutuhkan semangat dan kekuatan yang besar kita harus melakukan pembaharuan di segala bidang misalnya integrasi nilai-nilai Islam ke dalam sendi-sendi kehidupan kita sehari-hari sehingga generasi islam tidak terasing dengan wajah islam yang sesungguhnya. Dan langkah yang terpenting untuk membangun kembali peradaban islam kita harus memiliki epistemology sendiri karena semasih kita mengikuti barat tampa memiliki epistemology sendiri maka kita akan berada di belakang barat karena tidak mungkin ekor menjadi kepala. Landasan epistemology harus di gali dari tiga unsur utama dalam islam yaitu al-Qur’an, al-hadist dan al-kaun (alam semesta) 

Al-Qur’an adalah landasan hukum yang pertama dan utama karena al-Qur’an adalah sebuah wahyu dari Tuhan yang harus kita patuhi dan kita gunakan sebagai barometer peradaban sedangkan al-hadist adalah penjelasan rasulullah terhadap teks ak-Qur’an (hermeneutik) yang bersifat absolut karena dia telah di beri wewenang untuk menafsirkannya. Sedangkan al-kaun adalah sumber hukum yang berlaku sepanjang masa karena dia adalah rahmat dari Tuhan untuk manusia, al-kaun tidak di pengaruhi oleh peradaban, sunatullahnya tetap statis semasih tuhan mengijinkannya, sehingga menjadikan al-kaun sebagai epistemology adalah suatu yang harus kita lakukan jika kita ingin membangkitkan kembali peradaban islam. Dan kita tidak semestinya mendikotomikan antara islam dan sains (yang merupakan hasil interpretasi terhadap al-kaun) 

Di tengah berkembangnya dunia pendidikan saat ini, banyak ide-ide yang sering muncul untuk mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan sains, sejauh ini banyak sekali upaya para cendekiawan muslim untuk mengintegrasikan antara ilmu agama dengan sains. Sains dan agama bukan merupakan isu baru, demikian pula sains dan islam bukanlah isu baru didunia islam. 

Di Indonesia misalnya pemisahan antara ilmu agama dan sains masih terjadi dalam pelaksanaan pendidikan, padahal iman dan ilmu merupakan karakteristik insani, agama dan ilmu pengetahuan selalu dipandang sebagai sesuatu yang erat hubungannya dalam islam, iman tanpa ilmu akan menyebabkan kemunduran dan kefanatikan sedangkan ilmu tanpa iman juga akan menyebabkan kehancuran. 

Terjadinya pemisahan agama dari perkembangan ilmu pengetahuan pada abad pertengahan yaitu pada saat umat islam meninggalkan ilmu pengetahuan. Pada saat itu yang terpengaruh dalam masyarakat islam adalah para ulama tarekat dan ulama fiqh. Keduanya menanamkan paham taklid dan membatasi kajian agama hanya dalam bidang tertentu. 

Di Indonesia, munculnya dikotomi pendidikan ini tidak lepas dari proses kolonialisme, mungkin apabila Bangsa Indonesia tidak dijajah maka bentuk pendidikan di Indonesia akan lain dari yang telah ada selama ini. Dikotomi pendidikan bukan hanya persoalan di Indonesia saja, tetapi merupakan masalah global, terutama yang dihadapi oleh negara-negara Islam. Sains biasanya dipandang sebagai usaha yang bersifat obyektif dan bebas nilai, maka ketika konsep sains islam dikemukakan orang lalu membantah bahwa ilmu fisika, kimia dan ilmu lainnya bersifat netral terhadap agama atau ideologi manapun. Dunia Islam bukan hanya menginginkan keterpaduan ilmu dibawah kendali wahyu, tetapi keterpaduan sistem pandidikan itu sendiri, walaupun itu bukan pekerjaan yang mudah untuk menyadarkan sekaligus menyamakan persepsi tentang pendidikan, terutama memajukan pendidikan yang terintegralistik. 

Dalam fenomena pendidikan yang dapat diamati sekarang ini sangat jelas sekali perbedaan yang menonjol antara ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan agama, kemajuan ilmu pengetahuan umum melaju dengan cepat dan mendapat perhatian yang lebih serius daripada ilmu agama yang termasuk dalam kategori ilmu budaya yang berada jauh di belakang. 

Dengan landasan yang ada selama ini, hasil pendidikan lembaga – lembaga pendidikan Islam, sulit bersaing dan kurang cukup memiliki keahlian yang dibutuhkan masyarakat global, karena selain bersifat sektoral juga tidak dapat bersaing dalam lapangan kerja yang sangat kompetitif pada masa yang akan datang, dan sebaliknya lembaga-lembaga pendidikan umum yang memisahkan antara ilmu pengetahuan dan ilmu agama, outputnya adalah pengembangan IPTEK, dimana akal lebih diutamakan dari pada iman dan takwa. Untuk menjembatani permasalahn di atas agar tidak ada lagi pendikotomian antara umum dan agama di indonesia yang merupakan mayoritas penduduknya islam maka model pendidikan yang harus di kembangkan adalah sebuah model pendidikan yang mengintegrasikan nilai-nilai islam sehingga pada akhirnya output yang duhasilkan dapat menggali epistemologi IPTEKnya dari al-Qur’an. Dengan model pendidikan seperti ini maka indonesia akan mengarah pada suatu negara yang mapan secara teknologi karena telah mempunyai landasan IPTEK yang orsinil yang pada akhirnya bisa mewujudkan masyarakat yang ahli dalam teknologi dan mantap secara keimanan, masyarakat seperti inilah yang bisa bersaing dalam era globalisasi seperti sekarang ini. 

Hasil dialog dengan al-Qur’an kemudian dilanjutkan dengan melakukan penelitian dan pembacaan yang menyeluruh terhadap al-kaun yang pada akhirnya kita bisa mengembangkan sains dengan epistemologi yang independen tampa harus mengekor pada barat yang sebenarnya hanyalah “sampah” dari masa kejayaan islam saja. Dan ini adalah suatu mekanisme yang harus kita jalani jika kita ingin menggapai kembali kejayaan islam yang di janjikan allah. sehingga masyarakat Indonesia dapat memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran islam secara kaffah. 

Secara historis, perang sains dan agama pun banyak mitosnya. Pada abad pencerahan, sains dan teologi ternyata bergandengan tangan seperti diperlihatkan Newton, Copernicus, dan Boyle. Newton dan Boyle, misalnya, berpendapat mengkaji alam adalah tugas keagamaan. Pengetahuan tentang kekuasaan dan kearifan Tuhan dapat dipahami melalui inteligensia yang tampak dalam desain alam semesta. Revolusi sains di abad pencerahan tidak bisa diartikan pemisahan sains dan agama. Pada masa itu, sains menjadi solusi bagi masalah-masalah teknikal. Sains dihargai ketimbang kebangsawanan dan kekayaan. Bahkan, sains memperkuat argumen-argumen penciptaan dan menentang ateisme dan skeptisisme yang dianggap merusak tatanan masyarakat yang stabil. 

Secara psikologis misalnya, harmoni sains dan agama adalah mungkin. Sains tidak memberikan kesempurnaan segalanya. Sains sangat diperlukan, tapi tidak mencukupi. Kebutuhan global dalam kesehatan anak, harapan hidup, tingkat literasi, persamaan kesempatan, produktivitas para pekerja, atau efisiensi konsumsi sumber daya. Sains dan teknologi belum mampu mengatasi kegagalan sistem pendidikan, kemunduran kota, kemerosotan moral, buruknya perawatan kesehatan, melambungnya utang negara, dan seterusnya. Kebutuhan manusia yang paling mendasar tidak mampu dipenuhi sains semata. Di sinilah peran agama sebagai provider kesadaran akan arah (sense of direction) dan harapan (sense of hope). Sementara sains sama sekali tidak berurusan dengan itu. Etika bisa saja otonom tanpa agama tapi sistem etika demikian belum mampu membuktikan reformasi budaya sepanjang sejarah. 

Ketika kita ingin menggali sains dari al-Qur’an maka kita harus juga melakukan dialog dengan al-kaun yang merupakan sumber hukum yang ketiga bagi islam sehingga seberapa universalpun hasil dialog kita dengan al-Qur’an tetapi setelah kita melakukan dialog dengan alam maka pada akhirnya kita akan bisa mengkongkritkannya dalam sebuah bentuk hipotesis yang berujung pada sebuah teori sains. Dalam arti setelah kita membaca, meneliti dan mendapatkan informasi tentang sesuatu yang berkaitan dengan sains dalam al-Qur’an maka kita harus segera mendialogkan hasil dari al-Qur’an tersebut dengan al-kaun (alam semesta) sehingga kita bisa mengkongkritkannya dalam sebuah bentuk hipotesis yang nantinya adalah sebuah teori sains. 

Relasi sains dan agama bisa bersifat konfliktual, independen, dialogis, maupun integrasi. Corak yang harus dikembangkan adalah corak dialogis untuk kemudian integrasi. Sains dan agama harus bersama-sama menghadapi bencana masa kini dan mendatang: ledakan penduduk, kelangkaan makanan, perubahan iklim, erosi dan kekeringan, penebangan hutan, limbah, ketimpangan kekayaan, dan masalah-masalah lainnya. 

Untuk itu, dua hal perlu dikemukakan, pertama, secara akademis perlu dikembangkan bidang studi sains dan agama. Bisa jadi bidang studi ini berkarakter hybrid dari sains dan agama, dan tidak memiliki materi yang unik dan metode yang khusus. Tetapi, seperti dialog antar agama, disiplin ilmu ini memuat tugas-tugas untuk memudahkan saling pemahaman (mutual understanding), untuk memperkuat tukar informasi yang substantif dan relevan antara sains dan agama; untuk menghasilkan pandangan terhadap konstruksi filosofis tentang konsepsi-konsepsi rasionalitas manusia dan terhadap pemberian arah bagi keputusan-keputusan praktis. 

Disiplin ilmu sains dan agama sangat penting dikembangkan oleh semua agama di Indonesia. Tidak hanya menjadi terobosan teologis, tapi juga terobosan sains. Membuka kesadaran sains dan agama dalam setting pendidikan agama dan pendidikan umum tentu saja sangat mendesak. Tidak akan ada lalu lintas intelektual tanpa ada konstruksi aktif agama-agama. 

Kedua, secara kultural harus dikembangkan dialog sains dan agama. Hubungan-hubungan antara teori-teori sains dan teori-teori agama harus dijelajahi. Misalnya, bagaimana hubungan teori Big Bang dan penciptaan, teori chaos dan perbuatan Tuhan, teori informasi dan wahyu, biologi molekuler dan kebebasan manusia, genetika sosial dan etika agama, dan sebagainya. Dialog antarsaintis dan agamawan adalah entry point. Saintis yang hanya berkutat pada penelitian saintifiknya dan tidak peduli sama sekali dengan agama cenderung picik dan dogmatis. Agamawan yang tidak peduli dengan sains cenderung sempit dan kesulitan menyikapi modernitas maka di perlukan dialog yang intens di antara dua kelompok yang sementara ini masih dianggap konflik.wallahualam bissahab..

Tidak ada komentar: